B A B I
P E N D A H U L U A N
Islam
sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia
mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber
ajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti
diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman
pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi
oleh Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah
yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Para
ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan,
mengenai pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa
tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan
serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Dilihat
dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau
kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman
mereka. Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang
zhanni al-wurud atau zhanni ad-dalalah. Ijtihad diperlukan untuk
menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi.
A. LATAR BELAKANG
Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang disampaikan dalam
Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan
pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas
persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Maka untuk
itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang
artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh dalam berdo’a. Dan
ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama
mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah
Al-Qur’an dan Assunah. Maka dari
itu karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk
keluar dari kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
BAB
II
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN
ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz yang
‘am-khash, mutlaq-muqayyad, nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang
memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah
berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan
yang datang silih berganti (Al-wahyu qad intaha wal Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh
karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad
menjadi sangat penting.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ja-ha-da.
Kata inipun berarti kesanggupan (Al-Wus), kekuatan (Al-Thaqah), dan berat
(Al-Masyaqqah). Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi. Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad
bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa
adalah:
بذل وسعه وطاقته فى طلبة
ليبلغ مجهوده ويصل الى نهايته
”Pengesahan kesanggupan dan
kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung
yang ditujunya.” Menurut Asy-Syaukani (t.th:250). Arti etimologi
ijtihad adalah:
عبارة
عن الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan mengenai pengarahan
kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara bahasa, arti ijtihad dalam artian
ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur
(24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.” Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan
dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam
bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Dalam sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi
yang artinya: “pada waktu sujud” dan hadist
lain yang artinya “rosul Allah SAW para
ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad
secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa sahabat.
Menurut
Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:
بذل الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام
العملية من ادلتها التفصلية
”Upaya seseorang ahli fiqih
dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci”.
Menurut
Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
استفرغ الوسع فى طلب الظن من الاحكام
الشرعية
“Pengerahan segala kemampuan
untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara’ ”.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan
bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan
amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad berkenaan dengan dalil zhoni berbeda
dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam
lapangan fiqh adalah ijtihad daslam pengertian sempit.
Dalam arti luas menurutnya ijtihad juga berlaku
dalam bidang politik, akidah, tasyawuf dan filsafat. Harun Nasution, Ibrahim Abbas Al-Dzarwi ( 1983 : 9 )
mendefinisikan ijtihad. Menurut Fakhruddin ijtihad adalah pengarahan kemampuan
untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan.
Sebagian ulama ada yang mempersamakan
ijtihad dengan Qiyas, ada pula yang mepersamakan dengan ra’yu. Dari definisi ijtihad seperti digambarkan diatas terlihat beberapa
persamaan dan perbedaan. Perbedaanya adalah pertama terletak pada penggunaan
bahasa. Kedua, terletak pada subjek ijtihad dinisbatkan kepada kata mujtahid
yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad itu tidak hanya bidang fiqh. Ketiga,
terletak pada metode ijtihad.
Metode mangkuli (dari Al-Qur’an dan Sunnah) yaitu
metode yang mengikuti (Ittiba’) sebagian lagi menggunakan metode ma’kuli
(berdasarkan Ra’y dan akal). Metode ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah
SAW. Adapun persamaannya adalah pertama, hukum yang
dihasilkan bersifat Zhanni. Kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi
yasitu hukum dengan amaliah ibadah.
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar
hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Diantara ayat Al-Qur’an yang
menmmjadi dasar ijtihad: adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya
Hadits Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاطاب فله اجران
واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
“apabila seorang hakim
menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua
pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala” . (HR. Muslim, 11,t.th :62).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat
yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad
melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan
tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat
mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai
berikut:
1. Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau
diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas
2. Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad yang
mempunyai kemampuan intuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu
3. Mujtahid fih ialah hukum-hukum syari’ah yang
bersifat amali (taqlifi).
4. Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi
mujtahid fih (Nadiah Syafari al-umari t.tth:199-200)
Menurut
fakkhr ad-din, Muhammad bin Umar bin Al Husin Ar Razi (1988:496-7)
syarat-syarat adalah sebagai berikut:
1. Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin
dapat melakukan penerapan hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab
pertama terjadinya perintah atau larangan.
4. Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki
Qorinah atau tidak.
Berbeda
dengan syarat-syarata terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad As Syaukani
(t.th: 250-252) menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1. Mengetahui Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum didalam Al-Qur’an sekitar
500 ayat.
2. Mengetahui ijma’ sehingga tidak berfatwa atau
berpendapat yang menyalahi ijma ulama.
3. Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur’an dan
Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, membahas dasar-dasar
serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa
berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Adapun
syarat-syrat mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah (t.th: 250-2)
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur;an
diturunkan dalam bahasa arab, As Sunnah, sebagai penjelasn Al-Qur’an juga
ditulis dalam bahasa arab.
2. Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an.
3. Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan
maupun penetapan.
4. Menegtahui ijma’ dan iktilaf.
5. Menegetahui kiyas .
6. Mengetahui maqoshid As Syariah.
7. Memilki pemahaman yang tepat (Syihah Al Fahm)
yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu Mantiq.
8. Memilki niat.
Syarat-syarat
yang diajukan oleh Abu Zahrah, Wahbah Al Juhaili (1977 : 487-492) mengajukan
syarat-syasrat mujtahid sebasgai berikut:
1. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat
didalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah.
2. Mengetahui makna hadits-hadits hukum secara
bahasa maupun istilah.
3. Mengetahui nasikh-mansukh baik dari Al-Qur’an maupun
Sunnah.
4. Mengetahui ijma’ sehingga tidak berfatwa atau
berpendapat yang menyalahi ijma’ terdahulu.
5. Mengetahui kiyas dan syarat-syarat yang
disepakati karenas kiyas merupakan salah satu metode ijtihad, rincian hukum
banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
6. Mengetahui ilmu bahasa arab, seperti nahwu,
sharaf, ma’ani, dan bayan, karena Al-Qur’an dan Sunnah disusun dalam bahasa
arab.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh karena didalamnya
dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun ijtihad.
8. Mengetahui maqoshid As Syariati dalam penerapan
hukum, karena mujtahid wajib menetahui rahasia-rahasia hukum disamping dilalat
Al-Alfazh (penunjukan makna-makna lafadz).
Menurut
Muhaimin dkk (1994: 198-199) mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Mujtahid Mutlaq dan Mujtahid
Mazhab
· Mujtahid mutlaq ialah mujtahid
yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya
Mujtahid mutlaq terbagi menjadi
beberapa tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid
madzhab.
Ø Mujtahid mutlaq mustaqil yaitu
mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar yang ia susun
sendiri.
Empat
tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan
Imam Hambali. Kedua mujtahid mutlaq muntasib yaitu mujtahid yang telah mencapai
derajat mutlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri, ia
menggunakan keterangan imammnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber
pengambilannya. Contoh, Al- Muzami dari madzhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziad dari madzhab Hanafi
mujtahid fi – al madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum
agama yang tidak atau belum di keluakan oleh madzhabnya itu. Contohnya, Abu
Jafar al tahtawi dalam madzhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1. Mujtahid tahkrij, dan
2. Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid
fatwa.
Tampaknya
untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak
hanya dapat di lakukan oleh perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat
dilakukan secara kelompok (ijtihad jama’i). Artinya sekelompok ulama dengan
disiplin ilmu yang berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad.
D. LAPANGAN IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah
ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan
hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Adapun
hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bid’ah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i al subut wal dalalah tidaklah
termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong ma’ulima min ad
din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan ramadhan.
E. HUKUM IJTIHAD
Ulama
berendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya
tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad
bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung
pada kapasitas orang tersebut.
Pertama,
bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum
atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akasn hilang
begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua,
bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum
atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat.
Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus
tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka
melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga,
hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau kejadian
yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi
haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara qath’i,
baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya
telah ditetapkan secara ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk,
1994:189).
F. IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW
Pembicaraan
mengenai ijtihad Rasululloh SAW di kalangan para ulama ternyata sangat pelik
dan berbelit-belit. Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan
(al mashalih ad dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan
dengan persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat
mereka mengenai ijtihaj Rasulullah SAW dalam hukum agama (wahbah al zuhaili
1978:499, asy syaukani, t.th:234).
Dalam menanggapi ijtihad dalam
hukum agama ulama berbeda pendapat.
Pertama,
ahli ushul fiqh membolehkan karena ini pernah di lakukan oleh Rasulullah SAW.
Kedua,
pengikut Hanifah berpendapat Rasulullah SAW diperintah untuk berijtihad setelah
beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi, beliau
khawatir peristiwa itu lenyap begitu saja.
Ketiga,
kebanyakan pengikut As Syariah, ahli kalam, kebasnyakan pengikut uktazilah
tidak setuju ijtihad Rasulullah daslam urusan hukum agama.
Berikut dalil-dalil yang
dikemukakan kelompok pertama, sesungguhnya pada yang dmikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati (QS. Al-Imran {3}: 13).
Maka
ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pejaran bagi orang-orang yang mempunyai
pandangan (QS. Al-Hayr{59}: 2).
Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal (QS. Yusuf {12}: 111).
Kata-kata
ulul Al-Abshar ulu al albab, ibram pada ayat terdahulu tidak hanya berlaku bagi
khitab ketika ayat itu diturunkan tetapi berlaku bagi khitab ketika ayat itu
diturunkan tetapi berlasku juga bagi Rasulullah SAW karena sesungguhnya
beliaulah yang lebih tepast disebut ulul abshar dan ulul al basb. Kata –kata
tersebut menggambarkan suatu perintah memprediksi masa depan cara perbandingan
dengan cara istilah ushul adalah Qiyas adalah bagian dari kegiatan ijtihad.
Dalam
surat Al-Imrasn {3}: 159, Allah SWT berfirman:
Maka
disebabkan rahmat dari Allah SWT kamu belaku lemah lembut terhadap mereka
sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu, karenas itu maafkanlah mereka , mohon ampun bagi
merekas dan bermusyawarahlah dengasn mereka daslam urusan itu, kemudian
aspabila kamu telah membulatkan tekasd, maka bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadanya.
G. IJTIHAD: SUMBER DINAMIKA
Dewasa ini umat islam dihadapkasn dengan sejumlah
peristiwa yang menyangkut aspek kehidupan. Melihat persoalan-persoalan diatas, uamt islam
dituntut untuk keluar dari kemelut itu dengan cara melakukan ijtihad. Ijtihad
itu penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Kepentingannya
disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Jarak entara kita antara kita dengan masa tasyiri
semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakan beberapa nass,
khsusunya dalam as-sunnah yaitu masuknya hadist-hadist palsu dan perubahan
pemahaman terhadap nass. Oleh karena itu pera mujtahid dituntut secara
bersungguh-sungguh menggali ajaran agama islam yang sebenarnya melalui kerja
ijtihad.
2. Syariat disampaikan dalam Al-Qur’an dan sunnah
secara komprehensif: memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh.
Didalamnya terdapat yang ‘am dan khas, mutlaq da muqayyad, hakim dan mahkum,
nasikh dan mansukh, serta yang lainya yang memerlukan penjelasan rapa mujtahid.
Dilihat
dari fungsinya, ijtihad berperan sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok
dalam merespon peristiwa yang di hadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Dalil-dalil Qully dan maqasyid as-syari’at yang merupakan aturan-aturan
pengarah dalam hidup.
Ijtihad
diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh islam yang dinamis menerobos kejumudan
dan kebekuan memperoleh manfaat yang besar dari ajaran islam mencari pemecahan
islami dari masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi
kehidapan islam atas agama-agama lainnya (ya’lu wala yu’la ‘alaih)
H. IJTIHAD
Islam
sebagai agama yang adil dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Sumber ajaran
islam adalah Al-Qur’an dan sunnah yang sangat lengkap. Pertanyaan timbul
mengapa ijtihad dijadikan sebagai sumber hukum atas sumber ajaran agama islam,
padahal Al-Qur’an dan sunnah sudah cukup lengkap. Sebagai contoh akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, timbul masalah bayi tabung, pemindahan kornea mata.
I. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad
menurut bahasa ialah percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan sesuatu
dari berbagai urusan atau perbuatan. Berasal dari kata ja-ha-da yang artinya
berusaha keras atau berusaha sekuat tenaga: ijtihad secara harfiah mengndung
arti yang sama.
Menurut
Muhammad Syaltut, ijtihad artinya sama dengan ar-ra’yu yang perinciannya
berarti:
a. Pemikiran arti yang mengandung oleh Al-Qur’an dan
sunnah.
b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak
diajukan oleh nass dengan suatu masalah yang hukumnya ditetapkan oleh nass.
c. Pencerahan seganap kesanggupan untuk mendapatkan
hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjukan hukunya oleh suatu
nass secara langsung.
J. LANDASAN IJTIHAD
Dalam
islam akal sangat dihargai. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menagtaka suruhan
untuk mempergunakan akal, sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat
ini:
“Sesungguhnya pencptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (Q.S 8:22)
“Sesungguhnya bunatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah
orang yang peka dan tuli yang mengerti apapun” (Q.S 8:22)
Untuk
memberikan bukti bahea ijtihad pernah dilakukan para sahabat, pada massa nabi
sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh Al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal yang
artinya sebagai berikut:
بم تقضى؟ قال : بما فى كتاب الله، قال :
فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال : اقضى بما قضى به رسول الله، قال : فان لم تجد فيما
قضى به رسول الله؟، قال : اجتهد برأيى، قال : الحمد لله الذى وفق رسول رسوله
“Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke Yaman, Nabi
Mahammad SAW berkata: ‘bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?’,
jawabnya: ‘saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Qur’an’, nabi berkata: ‘bagaimana kalau kau tidak mendapati dalam Al-Qur’an?’,
jawabnya: ‘dengan sunnah nabi’, selanjutnya nabi berkata: ‘bila dalam sunnah
pun tidak kau dapati?’, jawabnya: ‘saya akan mengerahkan kesanggupan saya untuk
menetapkan hukum dengan pikiran saya’, akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada
dengan mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq
(kecocokan) pada utusan Rosulullah (Mu’adz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad
yang dilakukan para sahabat adalah ketika Abu Bakar menjadi khalifah, waktu itu
terdapat sekelompok yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu Bakar bertindak
memerangi mereka. Tidakan Abu Bakar tidak disetujui oleh Umar bin Khatab dengan
alasan menggunakan sabda Nabi SAW yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu islam)
sehingga mereka mau mengucapkan syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannnya,
terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan cara yang benar”
Dalam
peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan sabda nabi SAW, ILLAHI HAQQIKA. Dalam kata-kata itu
menunaikan zakat adalah sebagaimana mengerjakan shalat termasuk haq.
Dalam hal itu Umar berpendirian
bahwa merupakan suatu kebaikan bagi kepentingan umat islam dan umat mukmin.
K. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ditinjau
dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan
ijtihad jam’i. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh
seorang mujtahid dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jam’i atau
ijtihad kelompok adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam
menganalisa suatu masalah untuk menentukan suatu hukum.
Dilihat
dari lapangannya ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nassnya
tapi bersifat zhanni.
b. Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara’ dengan
penetapan kaidah kulliyah yang bisa diterapkan tanpa adanya suatu nass.
c. Ijtihad bi ar-ra’i yaitu ijtihda yang berpegang
pada tanda-tanda dan wasilah yang telah ditetapkan syara’ untuk menunjuk pada
suatu hukum.
L. KEDUDUKAN IJTIHAD
a. Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah
bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil ijtihad merupakan analisa
akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia sendiri yang relatif, maka
hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa berlaku dan pada saatnya yang
lain bisa tidak berlaku.
b. Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh
tempat, ruang dan waktu. Dalam ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah
tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai
situasi dan kondisi alamiah yang berbeda. Lungkungan sosial dan budayanya pun
sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah belum tentu berlaku di daearah
lain.
c. Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi,
akibat dan permasalahan umum (umat)
d. Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah
ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an
dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah
bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
M. METODE IJTIHAD
a. QIYAS. Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna
aslinya adalah mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan menimbangkan
sesuatu. Contoh: pada masa nabi ada belum ada permasalahan padi. Dengan
demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan zakat.
b. Ijma’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari
kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua
makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab
itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula
sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan dengan
hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
c. ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna
aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu menurut terminlogi para
ahli hukum, berarti didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan,
sebagai cotoh adalah peristiwa Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum
potong tangan kepada seorang pencuri pada masa peceklik.
d. MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang
berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan
umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh
metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dala ketentuan nash bahwa khamar dan
judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya.
B A B III
K E S
I M P U L A N
Ijtihad
merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yaqng berkaitan erat dengan
bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan dengan amal atau perbuatan. oleh
karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan
tasawuf, karena ijtihad hanyas berkenaan dengasn dalil-dalil zhanni, sedangka
ilmu kalam menggunakan dalil yasng qhati’, baik dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada
beberapa persamaan dan perbedaan dan adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad
ialah Al-Qur’an dan Sunnah.
Hukum
ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau haram,
bergantung pada kapasitas orang tersebut. Dewasa ini umat islam
dihadapkan kepada sejumlah peristiwa keinginan yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan. Melihat persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari
kemelut itu. Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa
dilakukan oleh setiap orang.