Berbicara tentang masalah Qurban dan Haji seorang
muslim tidak bisa melupakan dua tokoh berpengaruh yaitu nabi Ibrahim As dan
anaknya nabi Ismail As, walaupun perintah qurban yang pertama kali bukanlah pada
nabi Ibrahim sebab dizaman nabi adamanaknya
habil dan abil juga ada semacam qurban, sebelum lebih jauh menitik beratkan
tentang qurban ada baiknya kembali diingatkan tentang berimannya nabi Ibrahim As.
Pada zaman nabi Ibrahim banyak masyarakat
yang menyembah berhala bahkan ayah beliau sendiri pemahat patung berhala,
bayangkan kaum muslimin, betapa sulitnya tantangan yang akan beliau hadapi
menjelang berimannya nabi Ibrahim, salah satu hikmah dari kisah nabi Ibrahim ini
cukup jadi alasan bagi kita, agar tidak mengidentikkan seorang ayah dengan
anak, walaupun pengaruh ayah dan ibu ada dalam menjadikan seorang anak beriman
atau tidak kepada Allah swt, jangan terjadi lagi ditengah masyarakat saat anak
yang salah yang ditanya siapa orang tuanya, padahal orang tua si anak tidak
pernah mengajarkan keburukan pada anaknya.
Dizaman nabi Ibrahim juga hidup seorang raja
yang terkenal dengan kekejamannya, namanya Namrud, ini juga tantangan bagi
beliau menjelang mendapat hidayah iman yang tangguh, secara singkat dikisahkan.
Pada suatu ketika Namrudz mendapat firasat yang menunjukkan, bahwa kelak akan
lahir seorang anak laki-laki yang dapat menggulingkan kekuasaannya. Saat itu
Namrudz menjadi gelisah dan cemas, akan firasatnya yang benar-benar akan
terjadi. Maka Namrudz mengeluarkan undang-undang kerajaan, bahwa tidak ada
satupun yang hidup dari bayi laki-laki dalam tahun ini, bila ada bayi laki-laki
yang lahir id tidak akan segan-segan untuk membunuhnya, ia pun memerintahkan
seluruh prajuritnya untuk menyebar kesegala penjuru daerah untuk mendata
perempuan yang sedang hamil. Tanpa ada rasa kemanusiaan semua bayi laki-laki
yang baru saja lahir langsung dibunuh.
Ketika Nabi
Ibrahim dilahirkan, ayahnya tidak kuasa untuk membunuh anaknya, nabi Ibrahim
kemudian dibuang saja oleh ayahnya ke dalam hutan dengan fikiran nabi Ibrahim
akan mati juga dimakan binatang buas. Tetapi kehendak Allah diluar kemampuan
akal manusia, nabi Ibrahim dalam penjagaan Allah sehingga tak satupun binatang
buas yang berada didalam hutan untuk mengganggu atau memakannya, bahkan nabi
Ibrahim dalam keadaan sehat, karena Allah telah memberikan bila Nabi Ibrahim
mengisap jarinya maka keluarlah madu yang manis, sehingga dengan demikian nabi
Ibrahim tidak merasa lapar dan haus. Tentu saja kejadian ini adalah aneh bagi
kita, namun bagi Allah itu mudah, karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Inilah yang dinamakan IR-HASH, yaitu sesuatu keganjilan luar biasa yang
terdapat pada diri Rasul semasa kecilnya dengan izin Allah Swt. Setelah serang
beberapa lama kemudian, ayah beserta ibunya mencoba menengok anaknya di gua
tempat Nabi Ibrahim disembunyikan. Mula-mula mereka berkeyakinan anak pasti
sudah mati, setelah mereka sampai disana, mereka terkejut melihat anaknya dalam
keadaan sehat-sehat saja. Sejak itulah mereka sering menengok nabi Ibrahim
secara sembunyi- sembunyi.Selama satu tahun nabi Ibrahim tinggal didalam gua, setelah umur
nabi Ibrahim satu tahun, orang tuanya membawa nabi Ibrahim pulang kerumah,
karena masa pemberlakuan undang-undang kerajaan yang memerintahkan bahwa jika
yang lahir anak laki-laki harus dibunuh. Semakin hari nabi Ibrahim semakin
dewasa, ia pun mulai bertanya kepada orang tuanya, siapa yang menciptakan alam.
"Wahai ibu dan ayahku, siapa yang telah
menjadikan aku ini? Jawab ayahnya, ''Ayah dan Ibu yang menjadikan kamu, karena
kamu lahir disebabkan kami". Kemudian Ibrahim bertanya lagi: "Dan
siapa pula yang menjadikan Ayah dan Ibu? Jawab orang tuanya: "Ya Kakek dan
nenekmu." Demikian tanya jawab seterusnya sampai ketitik puncak, nabi Ibrahim
menyatakan: "Siapakah orang pertama yang menjadikan semua ini? Maka orang
tuanya tidak bisa menjawab, karena mereka tidak tahu kepada Tuhan. Ibrahim
kemudian bertanya kepada orang lain, namun mereka semua tidak bisa menjawab. Nabi
Ibrahim kemudian menggunakan akal dan fikirannya untuk mencari Tuhan Sang
Pecipta alam semesta ini, karena akal manusia sangat terbatas, nabi Ibrahim
gagal untuk mengetahui siapa sebenarnya yang telah menciptakan alam semesta
ini.
rman Allah
Swt."Ketika hari telah malam, Ibrahim
melihat bintang, katanya: Inilah Tuhanku...? Maka setelah dilihatnya bintang
terbenam, ia berkata: Saya tidak akan berTuhan pada yang terbenam. Kemudian
ketika melihat bulan purnama, iapun berkata lagi: Inilah Tuhanku...? Setelah
bulan itu lenyap, lenyap pula pendapatnya berTuhan kepada bulan itu, seraya
berkata: Sungguh kalau tidak Tuhan yang memberi petunjuk, tentu saya menjadi
sesat.Maka ketika
siang hari, nampak olehnya matahari yang sangat terang, ia pun berkata: Inikah
Tuhanku yang sebenarnya...? Inilah yang lebih besar. Setelah matahari terbenam,
iapun berkata: Hai kaumku! Saya tidak mau mempersekutukan Tuhan seperti kamu.
Saya hanya bertuhan yang menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas dan sekali-kali
saya tidak mau menyekutukanNya." (QS.
Al-An'am: 76-79) Itulah cara Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan dengan menggunakan
akal fikiran untuk memperhatikan alam sekitarnya.
Akhirnya Allah memberikan hidayahnya, nabi
ibrahimpun menjadi rasul yang ketauhidannya tidak diragukan lagi, bahkan sampai
pada suatu ujian penyemblihan anaknya, dikisahkan saat Nabi Ibrahim berusia 100 tahun beliau belum
juga dikaruniai putra oleh Allah dan beliau selaluberdoa: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak
yang saleh" (Q.S 37:100)Kemudian
dari istrinya yang kedua yakni Siti Hajar yang dinikahinya ketika NabiIbrahim mengadakan silaturahmi ke Mesir
(setiap kedatangan pembesar diberi hadiahseorang istri yang cantik oleh pembesar Mesir). Dari Siti Hajar lahirlah
seorang putrayang kemudian diberi nama
Ismail, ia lahir di tengah-tengah padang pasir kemudian dikenal dengan Mekkah.
Pada saat Nabi Ibrahim diberi petunjuk oleh Allah,
agar meninggalkan istrinya Siti Hajardengan
seorang putranya yang baru lahir dan ia disuruh menemui istrinya yangpertamanya yakni Siti Sarah yang berada di
Yerussalem kota tempat Masjidil Aqsho.Beliau
meninggalkan beberapa potong roti dan sebuah guci berisi air untuk Siti
Hajardan Ismail.Pada waktu Siti Hajar kehabisan makanan dan
air, ia melihat disebelah timur ada air yang ternyata adalah fatamorgana yaitu
di Bukit Safa.
Di situ Ismail ditinggalkan dan SitiHajar naik Kebukit Marwah serta kembali ke
Sofa sampai berulang tujuh kali, tapi tidakjuga mendapatkan air sampai ai kembali ke Bukit Marwah yang terakhir. Ia
merasakhawatir terhadap anaknya
barangkali Ismail kehausan dilihat kaki Ismail bergerak-gerakdiatas tanah dan tiba-tiba keluar air dari
dalam tanah. Siti Hajar berlari kebawah sambilberteriak kegirangan :"zami-zami?" itulah kemudian menjadi
sumur Zam-zam. Di situlah Siti Hajardan
Nabi Ismail di padang pasir yang kering kerontang yang ditinggalkan oleh
NabiIbrahim dan ditempat itulah Allah
SWT. Menetapkan sebagai tempat ibadah haji.Bersambung…!!!
Pembina : Drs. H Khudri Yusuf M.Pd, Penulis
Ridho Fernanda
dari orangtualah anak-anak mula-mula
menerima pendidikan. Dan dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan
terdapat dalam kehidupan keluarga. Pendidikan yang ditekankan tidak lain adalah
pendidikan dengan konsep Islami yang menjadikan masalah penghambaan kepada
Allah SWT dan ketaatan kepada-Nya menjadi poros segala kehidupan. Perlu dicatat
juga bahwa pendidikan jasmani anak termasuk ke dalam bagian yang tidak
terpisahkan dari pendidikan jiwa, mental, dan kepribadian.
Tugas orang tua dalam mendidik anak
sejak kecil adalah mengenalkan anak akan siapa Tuhannya, siapa yang mencipta
dan mengurusi alam semesta ini, mengerti siapa nabinya, dan mengerti apa
agamanya, sehingga anak mengerti dan paham akan tugas hidup di dunia ini, yaitu
beribadah kepada Allah SWT semata dengan cara mengikuti sunnah Rasul-Nya.
Anak dalam perspektif Islam sering
diibaratkan dengan amanat, amanat dapat menjadi cobaan (fitnah ) bagi kedua
orang tua. Menurut ajaran Islam anak itu adalah amanah Tuhan kepada ibu dan
bapak. Setiap amanah haruslah dijaga dan dipelihara dan setiap pemeliharaan
mengandung unsur kewajiban dan tanggung jawab. Sebagaimana dinyatakan dalam Al
Quran firman Allah SWT.
Adapun hakikat dan fungsi amanah
tentang pemeliharaan anak-anak yang bersangkutan dalam hal ini ibu dan bapak,
baik itu dilihat dari sudut biologis dan sosiologi. Setiap ibu dan bapak
terbawa oleh pertalian darah dan turunan (biologis ) dipertautkan oleh satu
ikatan ( unsur) yang paling erat dengan anaknya, yang tidak terdapat
hubungan-hubungan yang lain. Hubungan itu disebut naluri ( insting ).
Dilihat dari sudut sosiologi,
ibu-bapaknya berusaha anaknya menjadi orang yang baik dalam bermasyarakat, yang
memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan mendapatkan manfaat kepada umat
manusia. Orang tua atau ibu dan bapak memegang peranan yang penting dan amat
berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya.
Sejak seorang anak lahir, ibunyalah
yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya dan
biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya, apabila ibu itu menjalankan
tugasnya dengan baik. Ketika anak dilahirkan, orang tua juga diharuskan
memperkenalkan kepada anaknya tentang makna keimanan. Tugas dan tanggung jawab
orang tua tidak saja terbatas pada perkembangan fisik, tetapi yang jauh lebih
penting adalah membentuk watak dan karakter anak.
Dengan demikian jelas, bahwa Islam
menyuruh manusia melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya, berdasarkan
pandangan bahwa anak sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang ke arah
kedewasaan, memiliki kemampuan dasar yang dinamis dan responsif terhadap
pengaruh dari luar dirinya, sehingga dalam proses pendidikan tidak perlu
terjadi sikap otoriter, karena perbuatan demikian berlawanan dengan fitrah
Allah SWT, yaitu kemampuan dasar manusia yang bisa berkembang sejalan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian, pendidikan Islam
menempatkan anak didik tidak saja menjadi objek pendidikan, melainkan juga
memandangnya sebagai subjek pendidikan.
Alasan kesibukan, keterbatasan waktu dan kemampuan orang tua terkadang menjadi
faktor mendasar untuk memasukkan anak pada lembaga pendidikan. Ditambah
kurangnya pengetahuan tentang perkembangan anak dan sumber belajar di rumah yang
tidak memadai.
Tujuan Pendidikan dalam Islam
1) Pendidikan akhlak dalam Islam diarahkan pada tujuan yang
tinggi yaitu melalui penerapan akhlak yang mulia
2) Meraih kerelaan Allah SWT dan berpegang teguh kepada
perintahnya.
3) Menghormati manusia karena harkat dan kepribadiaannya
4) Membina potensi dan mengembangkan berbagai sifat yang
baik dan kuat.
5) Mewujudkan keinginan yang baik dan kuat
6) Memelihara kebiasaan yang baik dan bermanfaat
7) Mengikis perilaku yang tidak baik pada manusia dan
menggantikannya dengan semangat kebaikan dan keutaman
Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Askara, 2008, hlm. 10
[2]
Prof. Dr. Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an, Malang:
Aditya Media & UIN Malang Press, 2004, hlm. 7
[3]
Prof. Dr. Veithzal Rivai, Dr. Sylviana Murni, Education Management,
Analisis Teori dan Praktik, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 1
PENDIDIKAN
DALAM AL-QUR’AN & HADITS
Islam adalah agama ilmu dan
cahaya, bukanlah suatu agama kebodohan dan kegelapan. Wahyu yang pertama-tama
diturunkan mengandung perintah membaca kepada Rasulullah saw. Pengulangan atas
perintah tersebut dan penyebutan kembali mengenai masalah ilmu dan pendidikan
itu, dapat kita rasakan menghubungkan soal pendidikan dengan Tuhan dalam ayat:[11]
Pendidikan berusaha
mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri, untuk itu individu
perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti
komsep, prinsip, kreaktivitas, tanggung jawab, dan keterampilan. Dengan kata
lain perlu perlu mengalami perkembangan dalam aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Demikian juga individu juga makhluk sosial yang selalu
berinteraksi dengan lingkungan sesamanya. Objek sosial ini akan berpengaruh
terhadap perkembangan individu. Melalui pendidikan dapat dikembangkan suatu
keadaan yang seimbang antara perkembangan aspek individual dan aspek sosial.
Pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang
tuanya. Memberikan pengertian pentinganya pendidikan merupakan keharusan orang
tua tatkala proses pendidikan dalam keluarga. Pendidikan anak merupakan
tanggung jawab orang tua.
Pendidik dalam padangan Islam
secara umum adalah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi
anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun potensi afektifnya.
Potensi ini harus dikembangkan secara seimbang sampai ke tingkat setinggi
mungkin, menurut ajaran Islam.[7] Maka inilah tugas orang tua tersebut berdasarkan firman Allah
dalam surat al-Tahriim ayat 06 tersebut di atas. Salah satu cara untuk
menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki anak adalah melalui pendidikan.
Disinilah pentingnya pendidikan bagi umat manusia.
Dalam pandangan penulis, bahwa
pada awalnya pendidikan merupakan murni tugas kedua orang tua, sehingga kedua
orang tua tidak perlu mengirim anaknya ke sekolah, akan tetapi karena
perkembangan ilmu pengetahun, keterampilan, sikap serta kebutuhan hidup sudah
semakin luas, dalam, dan rumit, maka orang tua tidak mampu lagi melaksanakan
sendiri tugas-tugas mendidik anaknya. Sekalipun demikian, secara teoritis
seharusnya rumah tangga dan sekolah tetap menyadari sejarah pendidikan
tersebut. Pengaruh pendidikan di dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak
memang sangat besar, mendasar dan mendalam.
Marimba (1989: 19) menyatakan
bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.[8] Dari pendapat Marimba tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa
pentingnya pendidikan adalah untuk menumbuhkembangan potensi jasmani dan rohani
yang dimiliki manusia demi terwujudnya manusia yang memiliki
kepribadian-kepribadian yang utama dalam istilah agamanya adalah Insan
Kamil dan menjadi hamba Allah SWT yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya.
Pentingnya pendidikan telah diungkapkan beberapa
tokoh pendidikan Islam yang mengacu kepada definisi pendidikan Islam, yaitu:
Abdurrahman al-Nahlawi mengemukakan bahwa pendidikan Islam
merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia, karena (a)
untuk menyelamatkan anak-anak di dalam tubuh umat manusia pada umumnya
dari ancaman.[5]
Dr. Muhammad Fadil al-Jamaly (Guru Besar Pendidikan di
universitas Tunisia) mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang
mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat
kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar atau fitrah dan kemampuaan
ajarannya (pengaruh dari luar).[6]
Esensi pendidikan yang harus dilaksankan umat Islam menurut beliau adalah
pendidikan yang memimpin manusia kea rah akhlak mulia dengan memberikan
kesempatan keterbukaan terhadap pengaruh dari dunai luar dan perkembangan
dari dalam diri manusia yang merupakan kemampuan dasar yang dilandasi oleh
keimanan kepada Allah SWT. Pandangan beliau ini didasarkan pada firman
Allah SWT yang berbunyi:
Sebagaimana dalam buku Ilmu Pendidikan
karangan Drs. Abu Ahmadi, Imam Ghazali menyatakan dan anak itu sifatnya
menerima semua yang dilakukan, yang dilukiskan dan condong kepada semua yang
tertuju kepadanya. Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik maka anak
itu akan hidup berbahagia di dunia dan akhirat. Dan kedua orang tua serta semua
guru-gurunya dan pendidik-pendidiknya akan mendapat kebahagian pula dari
kebahagian itu. Tetapi jika dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja,
maka anak itu akan celaka dan binasa. Maka yang menjadi ukuran dari ketinggian
anak itu ialah terletak pada yang bertanggung jawab (pendidik) dan walinya.
Joan Beck dalam bukunya Asih, Asah,
Asuh, Mengasuh dan Mendidik Anak Agar Cerdas , mengungkapkan, banyak proyek
riset jangka lama menunjukkan bahwa intelegensi anak akan berkembang ke tingkat
yang lebih tinggi, bila sikap di rumah terhadap anak, hangat dan demokratis
daripada dingin dan otoritas.
Mendidik anak dengan baik dan benar berati
menumbuh-kembangkan totalitas potensi anak secara wajar. Potensi jasmaniah dan
rohaniah anak diupayakan tumbuh dan berkembang secara selaras. Potensi
jasmaniah anak diupayakan pertumbuhannya secara wajar melalui pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmani, seperti pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan
papan.
Sedangkan potensi rohaniah anak diupayakan
pengembangannya secara wajar melalui usaha pemahaman agama, pembinaan
intelektual, perasaan, dan budi pekerti.
Perihal memilihkan lembaga pendidikan yang paling
tepat bagi anak, merupakan agenda penting bagi para orang tua. Lembaga
pendidikan tidak hanya berpengaruh pada perkembangan kognitif atau intelektual
semata, melainkan berpengaruh pula pada perkembangan kepribadian anak, di mana
ia akan bersosialisasi dengan sesama teman, guru, dan lingkungan di dalam
lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, maka orang tua
hendaklah pandai-pandai dalam mengarahkan anaknya tatkala hendak memasuki
sebuah lembaga pendidikan.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa anak
mereka setelah diserahkan kepada guru di sekolah maka lepaslah hak dan
kewajibannya untuk memberikan pendidikan kepada mereka. Semua tanggung jawabnya
telah beralih kepada guru di sekolah, apakah menjadi pandai atau bodoh anak
tersebut, akan menjadi nakal atau berbudi pekerti yang baik dan luhur, maka itu
adalah urusan guru di sekolah. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan belajar, baik secara internal maupun secara eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari
dalam anak itu sendiri, yang meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Sedangkan faktor eksternal ialah faktor yang datang dari luar diri si anak,
yang bisa meliputi 1) faktor sosial yang terdiri atas lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan lingkungan kelompok; 2) Faktor
budaya, seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian; 3)
Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar dan iklim;
dan 4) Faktor lingkungan spritual atau keagamaan.
Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya lalu beliau
bertanya (Teka Teki ) :
Imam Ghazali = ” Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ?
Murid 1 = ” Orang tua “
Murid 2 = ” Guru “
Murid 3 = ” Teman “
Murid 4 = ” Kaum kerabat “
Imam Ghazali = ” Semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan
kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahawa setiap yang bernyawa pasti akan
mati ( Surah Ali-Imran :185).
Imam Ghazali = ” Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ?”
Murid 1 = ” Negeri Cina “
Murid 2 = ” Bulan “
Murid 3 = ” Matahari “
Murid 4 = ” Bintang-bintang “
Iman Ghazali = ” Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah
MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun keadaan kita, tetap kita tidak akan dapat
kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari
esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran
Agama”.
Iman Ghazali = ” Apa yang paling besar didunia ini ?”
Murid 1 = ” Gunung “
Murid 2 = ” Matahari “
Murid 3 = ” Bumi “
Imam Ghazali = ” Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalah HAWA
NAFSU (Surah Al A’raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita,
jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.”
IMAM GHAZALI” Apa yang paling berat didunia? “
Murid 1 = ” Baja “
Murid 2 = ” Besi “
Murid 3 = ” Gajah “
Imam Ghazali = ” Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG
AMANAH (Surah Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat
semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin) di
dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi
permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal
memegang amanah.”
Imam Ghazali = ” Apa yang paling ringan di dunia ini ?”
Murid 1 = ” Kapas”
Murid 2 = ” Angin “
Murid 3 = ” Debu “
Murid 4 = ” Daun-daun”
Imam Ghazali = ” Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan
sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT . Gara-gara pekerjaan kita atau
urusan dunia, kita tinggalkan solat “
Imam Ghazali = ” Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? “
Murid- Murid dengan serentak menjawab = ” Pedang “
Imam Ghazali = ” Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalah
LIDAH MANUSIA. Kerana melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan
melukai perasaan saudaranya sendiri “